
Prakata
Sejak awal kehidupan masyarakat berburu-mengumpulkan makanan (hunter-gatherer), pertanian menetap, industrialisasi sampai dengan hari ini manusia selalu mengembangkan peradaban sebagai strategi adaptasi dalam menghadapi lingkungan alam dan sosial dimana Ia hidup. Manusia mengarungi berbagai perubahan sosial seperti perkembangan teknologi, permasalahan mobilitas, ketersediaan pangan (dan energi) dan berbagai kompleksitas lainnya. Sejak manusia lahir sampai dengan Ia wafat, manusia selalu membangun hubungan sosial sebagai pemenuhan kebutuhan hidupnya agar dapat terus lestari (keberlangsungan eksistensi dirinya).
Tidak ada manusia yang dapat hidup seorang diri. Manusia hidup mengelompok dengan mengandalkan hubungan sosial sebagai dasar dan strategi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Ini merupakan hakekat dasar kehidupan sosial manusia.
Dengan mendasarkan pada hubungan sosial, manusia saling menyepakati apa – apa yang dianggap wajar – tidak wajar, benar – tidak benar, salah – tidak salah, sanggup – tidak sanggup, bisa – tidak bisa, cukup – tidak cukup, menyimpang – tidak menyimpang, oknum – bukan oknum, tertib – tidak tertib dan lain sebagainya. Manusia saling menyepakati berbagai hal ini secara inter-subjektif dan menjadi sebuah sistem acuan (bertindak), antropolog menyebutnya dengan istilah kebudayaan yang mengatur tindakan – sikap perilaku manusia.
Masyarakat sebagai sebuah lingkungan sosial kemudian mengajarkan mana kondisi – kondisi yang ideal (seharusnya) dan mana yang tidak. Mana yang seharusnya berlaku dan mana yang senyatanya berlaku (sebagaimana adanya). Mana yang operasional dan mana yang tidak. Sehingga seolah – olah manusia berusaha untuk selalu dapat hidup dalam kondisi yang ideal (seharusnya) dan kepastian / ketidakpastian adalah sebuah keniscayaan (seperti juga ilusi) dari adanya keberadaan manusia.
Manusia dan perilaku sosialnya bukanlah makhluk yang selalu patuh sepenuhnya terhadap semua konteks kehidupan, ibarat robot/program komputer yang input – process dan output-nya bersifat linear. Padahal sejak Ia lahir selalu diajarkan mengenai apa yang (seharusnya) tampak wajar dan mana yang tidak wajar. Sehingga benar dan salah selalu bersifat relatif dan selektif (saling memilih/menyepakati) bagi para aktor (pelakunya).
Begitupun dengan perilaku kejahatan yang tidak pernah lepas dari dualitas nilai – nilai (atau sistem acuan bertindak) yang saling mengada satu dengan yang lain. Tidak ada hal buruk tanpa adanya pembeda yang baik, tidak ada yang benar tanpa pembanding yang salah. Terang sebagai ketiadaan dari kegelapan, gelap sebagai kondisi ketiadaan dari cahaya. Sejatinya konsep – konsep ini saling berhubungan melalui konfigurasi persamaan dan pembeda yang saling terhubung dan tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya membentuk arsitektur kompleksitas kehidupan sosial masyarakat dewasa ini.
Keamanan (dan juga ketidakamanan), gangguan, pelanggaran, kriminalitas, kejahatan merupakan hasil dari rangkaian hubungan antar aktor (pelaku) (atau node – istilah jaringan), hubungan sosial yang dimiliki, muatan sosial yang dialirkan, dan konteks (logika situasional). Masing – masing situasi dan kondisi memiliki sisi dan perspektifnya dari para aktor / pelaku yang saling terhubung menjadi sebuah jaringan sosial. Jaringan sebagai representasi dari abstraksi titik, garis dan anak panah. Kondisi ini yang menghasilkan keteraturan sosial (social order) dan atau ketidakteraturan akibat hubungan – hubungan sosial antar diadik (dyad – antar pasang atau dua aktor) dan triadik (triad – hubungan antar tiga orang / aktor) yang saling membentuk dan berada dalam sekumpulan jaringan yang saling terkoneksi (network of networks) (Wellman, 1983; Agusyanto, 2018).
Etnografi Jaringan Sosial dalam antropologi kepolisian tidak lepas dari penggambaran (deskripsi) mengenai jaringan (hubungan sosial) yang berkaitan dengan berbagai hal yang ada di Kepolisian. Jaringan sosial merupakan sebuah konfigurasi titik (orang/aktor), garis (hubungan sosial) dan anak panah (muatan yang mengalir dari satu titik ke titik yang lain – antar aktor). Gerak dan keteraturan (atau ketidakteraturan) dipengaruhi oleh hubungan antar aktor (pelaku) yang saling berkaitan.
Jaringan sosial (melalui hubungan sosial) bergerak dan beroperasi dalam ruang – ruang sosial dengan sistem acuan bertindak yang bersifat inter-subjektif. Membentuk suatu “aturan jaringan” yang mempengaruhi tindakan – sikap – perilaku aktor (pelakunya). Ada keleluasaan (dan ketidakleluasaan) bertindak sebagai sebuah sistem acuan yang disepakati secara bersama (kolektif). Sehingga “kebenaran” / versi kebenaran bersifat relatif.
Jaringan (dua-tiga aktor/node) selalu melibatkan kerjasama – persaingan antar aktor untuk memenuhi kebutuhan jaringan (kebutuhan kolektifnya), sehingga keamanan atas sebuah sumber daya / segala hal yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan (Suparlan, 2005) menjadi penting diteliti oleh kepolisian.
Buah pemikiran jaringan sosial bukanlah hal yang baru sebab pertama kali dibawa ke Indonesia oleh Prof. Parsudi Suparlan, Ph.D., sejak tahun 1976-1978. Beliau adalah yang pertama kali membawa pemikiran jaringan sosial ke Indonesia (Antropologi, Universitas Indonesia). Diteruskan oleh Ruddy Agusyanto (Antropologi UI dan Dosen PTIK – STIK) melalui Buku Jaringan Sosial dalam Organisasi (2007), Fenomena Dunia Mengecil (2010), Budaya Sontoloyo (2013), Berpikir Jaringan (2018), Gerak dan Keteraturan di Era Digital (2021) dan juga Bahan ajar Antropologi Kepolisian, STIK – PTIK, Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lemdiklat) Polri, tahun 2021, tertulis pada Bab VI (Dasar – dasar Berpikir Jaringan) dan Bab VII (Berpikir Jaringan).
Harapan lebih lanjut dari buku ini adalah menawarkan sebuah cara pandang (frame of reference) untuk melihatMasyarakat jaringan (yang saling terkoneksi) serta kompleksitasnya dalam membaca keteraturan dan ketidakteraturan yang sehari – hari hadir dan senyatanya hidup di masyarakat.
Tidak ada gading yang tidak retak, kekurangan dan kelebihan hanya sisi – sisi yang mampu dilihat sebagai bagian dari realita. Kesempurnaan hanya milik Tuhan semata. Semoga buku ini dapat memberikan wawasan dan pandangan menarik dalam melihat fenomena saat ini.
Semoga Bermanfaat dan Selamat Membaca
Keterangan
Judul: Antropologi Kepolisian
Penulis: Dr. Rendy Ananta Prasetya
xvi + 206 Halaman + 14 x 24 Cm
Harga Buku: 150.000,-
Admin
#antropologi kepolisian
#etnografi jaringan sosial
#jaringan sosial