
Buku Budaya Sontoloyo: Menggugat Teori Peradaban karya Ruddy Agusyanto berangkat dari satu pertanyaan mendasar. Pertama, mengapa daerah yang benar-benar subur, ibarat surga di dunia, disimpulkan sebagai awal dan pusat peradaban manusia. Kedua, mengapa masyarakat yang territorial geografisnya berkelimpahan sumber daya, yang kaya akan sumber daya energi atau pangan nan subur, justru memiliki kehidupan yang tidak sejahtera. Sementara itu, masyarakat yang teritorinya dianggap ‘miskin’ justru hidup lebih sejahtera
Buku ini mengulas ‘matahari sebagai esensi mendasar yang mempengaruhi seluruh lingkungan alam, tempat manusia hidup dan tinggal yang terbagi atas wilayah tropis dan non-tropis. Wilayah yang mendapat sinar matahari secara ‘cukup’ dapat mempengaruhi segala kebutuhan energi/sumber daya pangan yang berkelimpahan, niscaya masyarakatnya menjadi harmonis. Keharmonisan dibangun dari prinsip kerja sama tanpa harus saling berebut. Sebaliknya, di daerah non-tropis mengalami krisis pangan yang menuntut manusia untuk bekerja keras dan saling berebut dengan tujuan agar terhindar dari ancaman kepunahan seperti kematian biologis sehingga memunculkan prinsip survival of the fittest. Keberadaan sentral dari matahari sebagai penyeimbang keselarasan lingkungan alam dan manusia mempengaruhi pola hidup masyarakat wilayah tropis dan mereka yang hidup di belahan bumi non-tropis.
Wilayah tropis memiliki kelimpahan sumber daya energi/pangan sehingga mengutamakan prinsip hidup kerja sama. Wilayah non-tropis cenderung memiliki sumber daya alam yang serba langka sehingga untuk bertahan, masing-masing entitas makhluk hidup saling bersaing atau saling berebut. Tindakan tersebut kemudian berpengaruh ke berbagai organisasi sosial, belief system, sistem politik, pengendalian sosial–hukum dan pranata-pranata lainnya–serta mekanisme operasional dalam kehidupan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Artinya, untuk dapat mempertahankan keteraturan dan ketertiban sosial, diperlukan sebuah kekuatan (power) untuk membuat semua anggota masyarakat itu selalu patuh pada kebijakan umum yang cenderung bersifat memaksa sehingga kerap kali pelaksanaannya diwarnai konflik dan kekerasan. Indonesia sebagai negara yang memiliki posisi geografi yang strategis, terletak di antara dua samudra dan dua benua, memberikan hikmah gelimang harta kekayaan alam bagi para ibu pertiwi. Alih-alih hidup menyesuaikan dengan pola tempat tinggal sesuai iklim tropis Indonesia, perkembangan pola hidup masyarakat kini mengarah ke pola hidup masyarakat non-tropis. Pola kehidupan yang dimaksud tertuju pada banyaknya konflik yang terjadi dalam pengelolaan sumber daya, terutama sumber daya alam, di bumi pertiwi.